KETIKA TAMBANG DI ARENA REFORMASI
"Secuil pengalaman di kepulauan Bangka"

Oleh : Arif Hidayat

 Tampak perbedaan itu begitu siginfikan, alur kekuasan dan kepentingan rakyat menjadi tarik ulur disaat pintu keterbukaan terbuka lebar. Terjemahan kebebasan begitu bermakna meyuburkan arti demokrasi, namun bias kebebasan itu belum bisa diterjemahkan secara kongkrit dalam melihat masa depan bangsa ini.

Indonesia dalam sudut kepulauan, terhampar ribuan pulau dengan potensi yang belum dioptimalkan. Di balik sumber daya alam yang tersedia potensi mineral yang dikandungnya begitu kaya akan hasilnya.

Kepulauan Bangka merupakan sosok History dan future bagi dunia tambang Indonesia. Bagaimana tidak, pancaran History itu mengental dengan keberadaan tambang dalam Hitungan ratusan tahun.

Satu persoalan mendasar ketika Dunia tambang beroperasi di zaman reformasi, hiruk pikuk kepentingan begitu berdendang mengiringi keberadaan dunia tambang tersebut. Sebuah tamsil yang jelas " dimana ada gula disitu ada semut". Magnet dunia tambang bagaikan sihir yang mengubah simpul pikr.

Bangka identik dengan Timahnya, dibalik kekayaan tambang Bangka juga menghasilkan emas hitam berupa lada yang merupakan komoditi andalan dipasar Internasional. Kajian praktisionis begitu menarik disaat studi perbandingan Dunia tambang di Kepulauan Bangka dan Sumbawa di Paralelkan. Apa yang dikatakan oleh penduduk lokal Bangka, disaat seebuah pertanyaan dilontarkan " Apa Dampak tambang Timah bagi daerah ini ?". " kami sudah menyatu dengan Tambang" jawaban sederhana namun begitu dalam. Kajian sosiologi dalam meneropong keberadaan Tambang di Kepulauan Bangka memang menunjukkan garis merah hubungan emosional yang kuat antara keberadaan Tambang dan aktifitas serta penghidupan penduduk lokal. Jangan kaget ketika kita menanyakan kepada seeorang anak kecil " benda apa yang sedang beroperasi dilaut itu?" dengan spontan mereka menjawab " Kapal (Tongkang) pengeruk".

Apa yang ditakutkan dengan keberadaan tambang setidaknya menjadi gambaran jelas bagi daerah lain ketika kita melihat kepulauan Bangka dengan hiruk pikuk operasi tambangnya. Tailing seebagai bagian yang dianggap berimplikasi negatif ternyata hanya dianggap hal lumrah bagi penduduk Bangka. Pengelelolaan Tailing Mungkin kita menganggap Sembrono jika membandingkan dengan keberadaan Tambang di Wilayah Batu Hijau Sumbawa. Mengapa dikatakan sembrono ? Kapal pengeruk yang beroperasi sekitar 500 meter dari bibir pantai langsung membuang tailing diarea dimana mereka mengeruk Tailing tersebut. Proses yang ada merupakan proses gali lubang tutup lubang. Proses pengolahan tailing ternyata tidak dilakukan, mereka hanya mengankat batuan dan pasir dari laut, memisahkan biji Timah dan pasirnya lalu tailingnya langsung dibuang disampingnya. Malah tailing yang terbuang kelaut menjadi pemndangan Indah disaat bibir pantai menyurutkan airnya. Yang menjadi keheranan tailing yang berwarna putih tersebut malah menjadi daerah wisata bagi penduduk lokal. Mereka dengan leluasa mandi dan berenang dilokasi pantai yang pasirnya merupakan bagian Tailing. Dalam radius hitungan ratusan meter terlihat kapal keruk beroperasi secara normal. Sungguh pemandangan yang szangat ganjil jika kejadian daiatzs terjadi di Sumbawa. Bagi masyarakat Bangka hal tersebut adalah normal. Selain tailing yang dijadikan pantai wisata, Tailing juga diekspor kedaerah lain sebagai bahan bangunan. Yang lebih nyatanya masyarakat setempat memanfaatkan Tailing sebagai Paving Block dan bentuk lainnya sebagai bahan konstruksi bangunan.

Tailing dianggap wajar sebagai pasir oleh masyarakat setempat karena proses pengolahan Biji Timah tidak menggunakan bahan kimia. Mereka hanya mempergunakan air laut sebagai medium pemisah dan bantuan gravitasi Bumi sebagai medium penarik berat jenis. Meskipun secara kzsat mata pengolahan Timah mempergunakan bahan dasar alami, namun proses yang ada setidaknya mengubah kandungan zat yang ada dalam batuan menjadi tailing. Kandungan zat kimia jelas ada dalam tailing terseebut, namun kandungan yang ada dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dalam kenyataan yang kongret aktifitas masyarakat Bangka tidak terganggu dengan aktifitas pertambangan yang mengepung mereka. Hasil tangkapan laut jutru didapatkan didaerah penambangan serta pembuangan tailing tersebut.

Kerangka acuan yang jelas di saat rel reformasi mulai dihamparkan, Investor yang terjun kedunia Tambang harus memberdayakan Masyarakat lingkar tambang. Bangka dengan pengalaman ratusan tahun dalam dunia tambang ternyata menyadari bahwa kondisi saat ini sama sekali berubah dengan kondisi beberapa tahun kedepan. Investor yang bergerak dikepulauan Bangka ternyata banyak yang memegang Kontrak Karya generasi pertama. Dalam Kontrak karya generasi pertama tersebut disebutkan bahwa Investor tidak berkewajiban mengembangkan Community Development ( Pengembangan masyarakat ) di Lingkar tambang. Seebuah studi kasus yang jelas. Disaat penulis mengunjungi pertambangan di daerah Toba Kabupaten Pangkal Pinang. Perusahaan yang beroperasi disana yaitu PT. Kobatin. Merupakan Investor yang seebagian sahamnya dipegang oleh australia dan PT. Timah. Mereka baru 3 ( Tiga ) tahun ini melakukan kajian yang serius untuk mengaplikasikan apa itu Community Development. Sebelum reformasi digulirkan PT. Kobatin belum serius berkewajiban menerapkan Comdev di lingakar tambang dimana mereka beroperasi. PT. KOBATIN yang beroperasi dengan sestim pertambangan terbuka memanfaatkan areal bekas pertambangan mereka sebagai ajang yang digunakan untuk memberdayakan masyarakat setempat. uNtuk saat ini mereka masih sebatas melakukan kajian dan percobaan dalam laboratorium mini yang mereka buat. PT. Kobatin sudah beroperasi hampir 30 tahun di daerah Toba ini.

Bentuk community Development yang mereka kembangkan adalah memanfaatkan lubang galian tambang seebagai waduk untuk menyimpan air. Selain sebagai sarana untuk menampung air, lubang ini juga dimanfaatkan seebagai areal perikanan yang produktif. Sestim perikanan yang akan mereka kembangkan adalah dengan sestim perikanan Kerambah. Tanah gundukan bekas galian yng berupa tailing dimanfaatkan sebagai lahan bercocok tanam. Mereka menanm jangung, umbi-umbian dan kacang-kacangan serta diselingi dengan tanaman keras yang menjadi penghijauan jangka panjang. Dalam siklus yang dipadukan areal tailing juga dimodifikasi untuk kandang perternakan.

Dunia Tambang di kepulauan Bangka begitu menyatu dengan penduduk setempat, sampai masyarakat setempat menganggap keberadaan tambang merupakan lingkungan yang tak bisa dilepaskan dari lingkungan mereka. 

Kenyataan lain yang cukup mengejutkan dikala kita menanyakan " Apakah Putera / Puteri Bapak bekerja di salah satu perusahaan Tambang di Daerah ini ?" mereka menjawab tidak. Mereka melihat dunia tambang bukan satu-satuya tempat untuk mencari pekerjaan. Malah mereka bangga jika anggota keluarga mereka melanjutkan tradisi mengelolah perkebunan keluarga yaitu Kebun Lada. Dunia tambang mereka anggap sebagai patner dalam membangun daerah mereka. Memang bukti yang terlihat penghidupan dan ekonomi Masyarakat Bangka berada diatas standar rata-rata penghidupan daerah lain.

NGO’s dan Masyarakat

Paradigma berpikir masyarakat Bangka begitu praktis melihat dan memahami suatu persoalan. Ketika penulis menanyakan " bagaimana peranan NGO’s atau LSM dalam aktifitas mereka ?" mereka menjawab tidak tahu. Mereka malah asing dengan nama LSM ataupun organisasi masyarakat disekitar mereka. Pandangan yang timbul terhadap NGO’s ternyata diluar dugaan aktifis NGO’s. Mereka melihat keberadaan NGO’s hanya sebuah biang masalah. Pandangan umum yang ada NGO’s merupakan provokator. Masyarakat merasakan langsung hasil dan konstribusi dari tambang yang telah berjalan ratusan tahun tersebut. Dalam kasus nyata ternyata PT. Tobatin juga masih awam dengan keberadaan NGO’s dilingkungan mereka. Selama ini semua program yang ditujukan kepada masyarakat langsung ditangani oleh pihak perusahaan. Dan masyarakat sendiri proakatif bekerjasama dengan perusahaan yang ada. Jalur kerjasama yang digunakan oleh perusahaan tambang yaitu menggunakan perangkat dan strukutur Desa atau lurah yang sudah baku.

Perubahan paradigma perusahaan Tambang di bangka untuk mengedepankan community development sebagai basis Investasi bukan merupakan tekanan masyarakat atau NGO’s di sana. Namun kondisi nasional disaat era reformasi dicanangkan paradigma untuk mulai diseriusi oleh manajemen perusahaan Tambang di Bangka.

Persoalan saat ini

Perusahaan Tambang yang berijin di Bangka tidak menjadi inti persoalan serius. Justru persoalan itu makin mengakar disaat kita membidik usaha tambang rakyat yang dikenal dengan TI ( tambang inkonvensional ) atau masyarakt setempat menyebutnya Tambang Isap. Keberadaan TI ini begitu merepotkan Pemda, Masyarakat dan Investor yang ada. Lubang-lubang galian yang telah ditinggalkan Oleh perusahaan legal sebelumnya malah digali kembali oleh para penambang TI. Padahal lahan yang ditinggalkan tersebut merupakan wilayah konservasi yang dilakukan oleh perusahaan sebelumnya. Para penambang TI ini dengan leluasa menggali dan memproduksi sendiri Timah yang ada. Namun mereka sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dimana mereka menambang. Mereka hanya menggali dan membuang tailing tersebut tanpa proses lain untuk memperbaiki keadaan tanah. Mereka tidak mempunyai standar Amdal dan pelaksanaan Amdal itu sendiri. Kebebasan para TI ini dimulai disaaat era reformasi diterapkan. Mereka menganggap era saat ini merupakan era kebebasan dan mereka berhak menambang di mana saja. Itupun diijinkan oleh pemerintah setempat, namun dampak yang dirasakan saat ini dan kedepan akan begitu buruk tanpa ada ketegasan yang jelas dari pemerintah setempat. Adakah NGO’s yang menyuarakan akibat dari TI ini ? rasanya sangat minim. Mereka hanya melihat perusahaan besar terutama perusahaan asing ( MNC ) sebagai Isue besar untuk menunjukkan bargaining sebuah NGO’s

Penutup

Keberadaan tambang di Sumbawa begitu Unik dan mengejutkan. Kejutan ini sangat beralasan karena Newmont merupakan satu-satunya perusahaan MNC yang berani berinvestasi disaat era reformasi ini mulai berjalan. Kapan konstribusi Newmont dirasakan oleh masayarakat sumbawa ? terlalu naif kalau kita menginginkan konstribusi itu kita rasakan dalam tahun sekarang. Jelasnya masyarakat akan menerima dan merasakan keberadaan sebuah Tambang dalam tempo yang cukup panjang. Mungkin masyarakat Sumbawa baru merasakan keberadaan Newmont dalam 7 tahun kedepan. Mungkin juga 3 tahun kedepan. Semua ini tergantung dari masyarakat, investor dan pemerintah Sumbawa dalam mengelolah potensi yang ada ini.

Satu keharusan yang harus dilakukan oleh Pemda sumbawa, bahwa Pemda Sumbawa harus membelajarkan kepada masyarakatnya tentang potensi, konstribusi, akses negatif dan segala hal yang berhubungan dengan Tambang ini. Bukankah akan menjadi Delematis andaikata masyarakat hanya tahu Hak mereka tanpa mengetahui kewajiban yang seyokjanya dijalankan untuk mendukung roda pembangunan termasuk menyikapi keberadaan Investor di Sumbawa. Saat ini otonomi diterapkan, masing-masing daerah berlomba menunjukkan sikap Welcome mempertahankan dan mengundang investor kedaerahnya.

Adakah usaha Pemerintah Sumbawa ? wallahualam

Bandung, 19 Maret 2001
Direktur Executive Mining Contribution Development Watch
http://miningwatch.tripod.com email watch@mining.private.as